Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami
Teks Hadis
Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ.
“Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.”
Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut.
Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49)
Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
“Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12)
Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga.
Kandungan kedua
Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda.
Kandungan ketiga
Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh.
Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut:
Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual.
Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini.
Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun.
Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud.
Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya.
Kandungan keempat
Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan,
وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا
yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).”
Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2]
Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri.
Kandungan kelima
Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya.
Kandungan keenam
Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3]
Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai
***
@Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282.
[2] Al-Fataawa, 32: 62.
[3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Artikel asli: https://muslim.or.id/99238-hak-mendapatkan-mahar-dan-kewajiban-istri-yang-ditinggal-mati-suami.html